Selasa, 08 Mei 2012

Transfer Pricing dalam Praktek Perpajakan Internasional

1. Definisi Transfer Pricing
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison). (Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.

Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974, dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985 perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer pricing tersebut adalah:
  • Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu­ ratc profit center
  • Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.
  • Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara.
  • Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam group perusahaan.
2. Tujuan Transfer Pricing
Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).
3. Tipe dan Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah:
  1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing), Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
  2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing), Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang  independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.
  3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices), Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.
  4. Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional, Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:
  • Memaksimalkan penghasilan global
  • Mengamankan posisi kompetitif  anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
  • Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
  • Penghidaran pengendalian devisa
  • Mengontrol kredibilitas asosiasi
  • Meningkatkan bagian laba joint ventura
  • Reduksi resiko moniter
  • Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transferpricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.
Tabel : Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional

Perusahaan Induk di Belgia Anak Perusahaan di Puerto Rico Anak Perusahaan di Amerika
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Laba
Tarif Pajak
Pajak Terutang
$   100
$   100
$       0
42%
$       0
$   200
$   100
$    100
0%
$       0
$   200
$   200
$       0
0%
$       0
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan persentase dilakukannya audit compliance pada perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.- Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and Mowen, 1996:543).
Istilah-istilah transfer pricing dalam perpajakan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  3. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
  4. Kriteria-kriteria sebagaimana dimaksud di atas, termasuk diantaranya penentuan metode transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
  5. Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
  6. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
  7. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arms Length Principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
  8. Penentu Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
  9. Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

1 komentar:

  1. Casinos in the Netherlands (2021) - MapYRO
    Casinos in the Netherlands (2021). MapYRO 서산 출장샵 is an 인천광역 출장안마 online 이천 출장마사지 gambling portal 동해 출장안마 offering real 천안 출장마사지 money gambling and/or casino games to players in the Netherlands.

    BalasHapus